Dulu, sebelum era reformasi 1998, televisi (TVRI) selalu menayangkan film
"Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" setiap 30 September. Namun sejak kejatuhan rezim Soeharto, film itu dilarang diputar. Mengapa?
Seperti diketahui, film Pengkhianatan G30S/PKI yang berdurasi sekitar 220 menit ini diproduksi pada 1984 atas prakarsa pemerintah lewat Perusahaan Film Negara (PFN)
dan almarhum Arifin C. Noer didapuk menjadi sutradara film itu.
Pada masa pemerintahannya, Presiden Soeharto memerintahkan TVRI untuk menayangkan film itu setiap tanggal 30 September. Murid-murid sekolah juga diwajibkan menonton film propaganda tentang pemberontakan PKI versi Soeharto atau Orde Baru ini.
Baca juga:
Maaf ke Soekarno Soal Tuduhan Keterlibatan Peristiwa Gerakan 30 September 1965Film itu menceritakan peristiwa seputar 30 September tahun 1965, dan menuturkan pengkhianatan PKI, yang membunuh para jenderal TNI AD. Kelompok PKI lalu menguburkan perwira TNI AD di Lubang Buaya, Pondok Gede.
Amoroso Katamsi, pemeran Soeharto dalam film itu menceritakan bagaimana film itu dibuat dalam dua tahun dan bagaimana adegan kekerasan itu terjadi. "Film ini sengaja dibuat untuk memberi tahu rakyat bagaimana peran PKI (Partai Komunis Indonesia) saat itu. Jadi, memang ada semacam muatan politik," kata Amoroso Katamsi, pemeran Presiden Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
Pengakuan itu disampaikan Amoroso kepada Tempo yang mewawancarainya, 26 September 2012. Seperti dilansir Majalah Tempo September 2012, Amoroso menuturkan bahwa memang kondisi PKI terhadap rakyat Indonesia seperti adanya film. "Tapi memang ada beberapa adegan yang berlebihan," kata Amoroso Katamsi.
Tempo, pada September 2000 silam, membuat jajak pendapat tentang pengaruh film yang disutradarai Arifin C. Noer ini. Hasil indoktrinasi lewat buku sejarah dan media propaganda itu sungguh dahsyat. Responden dari 1.110 pelajar SMA di tiga kota (Surabaya, Medan, dan Jakarta) jadi begitu konservatif, menolak semua yang berbau PKI dan komunis.
Menurut sebagian besar responden, komunisme itu melulu paham yang antiagama (69 persen) dan sangat radikal (24 persen). Meskipun komunisme sudah ditumpas puluhan tahun silam dari bumi Indonesia -dan tak laku dijual sebagai ideologi di berbagai negara- banyak yang masih percaya ia akan bangkit kembali (47 persen). Karena itu, separuh responden berpendapat sebaiknya komunisme tak diajarkan sebagai ilmu pengetahuan. Buku-buku tentang komunisme juga sebaiknya dilarang beredar.
Sebagian besar responden juga percaya adegan yang ada dalam Pengkhianatan G30S/PKI itu benar-benar terjadi. Padahal, faktanya belum tentu demikian. Sulami, seorang bekas anggota Gerwani, organisasi onderbouw PKI, contohnya, menyangkal ada anggota kelompoknya yang menari-nari di Lubang Buaya sewaktu para jenderal dibawa ke sana, seperti yang digambarkan dalam film itu. Kepada Tempo, Sulami bahkan menolak disebut terlibat dalam gerakan penculikan itu.
Menurut data Peredaran Film Nasional yang tertulis dalam situs filmindonesia.or.id judul semula Pengkhinatan G 30 S/PKI adalah SOB (Sejarah Orde Baru). Karya berdana Rp 800 juta tersebut menjadi film terlaris pertama di Jakarta pada 1984 dengan 699.282 penonton. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995.
Tapi ketika reformasi bergulir, pada September 1998, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengumumkan film yang dibuat pada 1984 ini diputuskan tidak diputar atau diedarkan lagi. Begitu juga film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Alasannya, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden.
Kini, memperingati kejadian 30 September, TNI AD akan menayangkan kembali film G 30 S PKI itu.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa masyarakat dan generasi muda saat ini perlu tahu sejarah G30S/PKI. Mereka perlu tahu pernah ada gerakan kudeta yang dilakukan PKI. Itu sebabnya, Tjahyo setuju film "Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI" diputar di layar-layar kaca televisi nasional.
Sumber: harianterbit.com, tempo.co
0 komentar:
Posting Komentar